Kata qurban dalam bahasa arab berarti “udlhiyah”. Udlhiyah dan dluha pada awalnya bermakna “waktu dluha” yaitu waktu antara dari pukul 7 pagi hingga pukul 11 siang. Kemudian dijadikan sebagai nama bagi sembelihan qurban yang pelaksanaannya dianjurkan pada waktu dluha, di hari ke-10,11,12 dan 13 Dzulhijjah.
Secara bahasa “udlhiyah” atau jamaknya “dlahaya” berarti haiwan sembelihan, atau menyembelih binatang pada pagi hari. Jadi definisi qurban (arabnya udlhiyah) ialah binatang yang disembelih pada hari raya qurban (Idul Adha). Dalam ilmu fiqh, qurban berarti penyembelihan haiwan tertentu dengan niat mendekatkan diri kepada Allah SWT. (Qurban) pada hari raya haji (Idul Adha) dan atau hari Tasriq (tanggal 10,11,12 dan 13 dzulhijjah).
Sedangkan menurut Wahbah al-Zuhaili, kurban (udlhiyah) secara bahasa ialah nama untuk suatu haiwan yang disembelih, atau untuk haiwan yang disembelih pada hari raya Idul Adha, sedangkan menurut fiqh qurban ialah menyembelih haiwan tertentu dengan niat mendekatkan diri kepada Allah di dalam waktu tertentu. Muhammad al-Khatib al-Syarbani memberi definisi qurban (udlhiyah) sebagai berikut :
وَهِيَ مَا يُذ بَحُ مِنَ النَّعَمِ تَقَرُّبًا إِلى اللهِ تَعَاَلى مِنْ يَوْمِ ْالعِيْدِ إِلَى أخِرِ أيَّام التَّشْرِيْقِ
Artinya : “Qurban ialah haiwan yang disembelih dari jenis haiwan ternak untuk mendekatkan diri kepada Allah di hari raya Idul Adha sampai akhir hari tasyrik.
Dan menurut Al-Jaziri qurban ialah untuk menyebutkan sesuatu haiwan dari jenis haiwan ternak yang disembelih atau dijadikan qurban untuk mendekatkan diri kepada Allah SWT. di hari raya Idul Adha baik dia sedang melaksanakan ibadah haji ataupun tidak mengerjakan.Dari definisi –definisi tersebut di atas, qurban adalah penyembelihan haiwan ternak yang dilakukan pada hari raya Idul Adha dan sampai akhir hari
tasyrik (tanggal 11,12 dan 13 Dzulhijah) untuk mandekatkan diri kepada Allah SWT.

Dasar Hukum Qurban

Al-Qur’an mahupun al-Sunnah sebagai sumber pokok hukum Islam banyak sekali menyebutkan tentang ibadah qurban, dan memerintahkan secara jelas dan tegas di antaranya :
وَلِكُلِّ اُمَّةٍ جَعَلنَا مَنْسَكًا لِيَذْ كُرُوا اسْمَ اللهِ عَلى مَارَزَقهُمْ مِنْ بَهِيْمَة
Artinya : “Dan bagi tiap-tiap umat telah Kami syari’atkan penyembelihan (qurban) supaya mereka menyebut nama Allah terhadap binatang ternak yang telah dirizqikan Allah kepada mereka”. (QS. Al-Hajj : 34)
Ayat al-Qur’an tersebut menunjukan adanya anjuran supaya berqurban untuk mendekatkan diri kepada Allah SWT. yaitu dengan menyembelih binatang ternak. Ayat lain dalam surat al-Kautsar dinyatakan, sebagai berikut :
إِنَّاَ أعْطيْنَاكَ اْلكَوْثَر. فَصَلِّ لِرَبِّكَ وَانْحَرْ. إِنَّ شَانِئَكَ هُوَ اْلأبْتَرُ.
Artinya : “Sesungguhnya Kami telah memberikan kepadamu nikmat yang banyak. Maka dirikanlah solat kerana Tuhanmu, dan berqurbanlah, sesungguhnya orang-orang yang membenci kamu dialah yang terputus” . (QS : al-Kautsar:1-3)
Surat tersebut menunjukan agar selalu beribadah kepada Allah SWT. Dan berqurban sebagai tanda bersyukur atas nikmat yang telah dilimpahkan-Nya. Sedangkan hadits Nabi SAW yang menjadi dasar hukum kurban diantaranya :
يَا يُّهَاالنَّاسُ اِنَّ عَلى كُل أهْلِ بَيْتٍ في كلِّ عَامٍ أُضْحِيَّة (رواه أبو داود)
Artinya : “Hai manusia, sesungguhnya atas tiap-tiap ahli rumah pada tiap-tiap tahun disunatkan berqurban”. (HR. Abu Dawud).
Hadits Nabi SAW tersebut menerangkan bahwa berqurban itu bukanlah ditentukan untuk sekali saja melainkan disunatkan tiap-tiap tahun kalau ada kesanggupan untuk berqurban. Dalam hadits yang lain Nabi SAW bersabda:
عَنْ َأبِي هُرَيْرَة: َأنَّ رَسُوْل اللهِ صلى الله عليه وسلم قال : مَنْ كَانَ لهُ سَعَة وَلمْ يَضَحْ فَلا يَقْربَنَّ مُصَلَّانَا (رواه احمد وابن ماجه)
Artinya : “Dari Abi Hurairah: Sesungguhnya Rasulullah SAW bersabda: Barang siapa yang mempunyai kemampuan tetapi tidak berqurban, maka janganlah ia menghampiri tempat solat kami” . (HR. Ahmad dan Ibn Majah)
Dalil-dalil nash tersebut di atas, menurut jumhur ulama bahwa hukum qurban ialah sunat muakad dan bukan wajib. Namun menurut Abu Hanifah hukum qurban ialah wajib, karena menurut Abu Hanifah suatu perintah
menuntut adanya kewajiban. Istilah wajib disini menurut Abu Hanifah kedudukannya sedikit lebih rendah dari pada fardlu, dan lebih tinggi dari pada sunnah, karena hukumnya wajib, maka berdosalah orang yang meninggalkannya jika ia tergolong orang yang mampu. Selain madzhab Hanafi mengatakan bahwa hukum qurban ialah sunnat muakad dan tidak wajib, namun dimakruhkan bagi orang yang mampu berqurban dan tidak melaksanakan ibadah qurban.

Sejarah Disyari’atkannya Qurban

Ibadah kurban termasuk syari’at Nabi Ibrahim A.S. dan beliaulah yang mula-mula melaksanakannya. Nabi bersabda :
عَنْ زَيْدِبْنِ َأرْقمْ قال : قال َأصْحَابُ رَسُوْلِ اللهِ صلى الله عليه وسلم : يَارَسُوْل اللهِ مَا هَذِهِ الأُضْحِيُّ؟ قَالَ : سُنَّة َأبِيْكمْ إِبْرَاهِيْمَ (واه ابن ماجه)
Artinya : “Dari Zaid Ibn Argam berkata : para sahabat Rasulullah SAW bersabda : ada apa dengan kurban ini ? Nabi bersabda: Sunnah bapakmu Ibrahim” . (HR. Ibn Majah)
Kita melaksanakan kurban karena meneladani sunnah Nabi Ibrahim, dan mengenang peristiwa agung yaitu penyembelihan kurban, Ibrahim mendapatkan wahyu dalam mimpi untuk menyembelih anaknya Ismail. Beliau mematuhi isi wahyu tersebut, lalu menemui putranya dan buah hatinya itu, anak yang baru dimiliki Ibrahim setelah ia lanjut usia. Ismail adalah anak yang dirindukan kelahirannya, namun setelah Allah SWT memberinya kegembiraan berupa anak, tiba-tiba datanglah wahyu agar menyembelih putranya itu. Ini merupakan ujian yang sangat berat bagi Nabi Ibrahim dan putranya.
Dalam kondisi seperti itu tiba-tiba perintah Allah SWT datang “Sembelihlah dia” Allah SWT hendak menguji hati Ibrahim, apakah dia masih setia dan tulus ikhlas kepada Allah SWT, ataukah hatinya bergantung dan sibuk dengan anaknya. Ibrahim lulus dalam menghadapi ujian ini. Ia pergi menemui anaknya, ia tidak mengambilnya dengan tiba-tiba dan tidak pula mencari kelengahannya, tetapi dikemukakan hal itu secara terang-terangan dengan menyatakan :
يبُنَيَّ إِنِّى أرى فِى المَنَامِ إِنِّىَ أذْبَحُكَ َفانْظرْ مَاَذا تَرَى (الصفات : ١٥٢)
Artinya : “Hai anakku sesungguhnya aku melihat dalam mimpi bahwa aku menyembilihmu, maka pikirkanlah bagaimana pendapatmu” . (QS. Ash Shafaat : 102)
Ismail anak yang patuh dan mengerti kedudukan orang tuanya dan posisi sebagai anak, ia tidak membangkang atau tidak bimbang. Dengan penuh keimanan dan kepercayaan sebagai seorang mukmin, ia berkata :
يَأبَتِ َأْفعَل مَا تُؤْمَرُ سَتَجِدُنِى إِن شَاءَ الله منَ الصَّابِرِيْنَ ( الصفات : ١٠٢)
Artinya : “Hai Bapakku, kerjakanlah apa yang diperintahkan kepadamu, insyaAllah kamu akan mendapatiku termasuk orang-orang yang sabar“. (QS. Ash Shafaat : 102)
Suatu jawaban yang memancarkan keimanan, tawadhu’ dan tawakal kepada Allah SWT. Dan tatkala keduanya telah berserah diri (si ayah telah menyerahkan anaknya, dan si anak telah menyerahkan lehernya) Dan Nabi Ibrahim telah membaringkan anaknya atas pelipisnya (hendak melaksanakan perintah-Nya), tiba-tiba datanglah kabar gembira kepadanya, sebagaimana diterangkan dalam al-Qur’an:
فَلمَّاَ أسْلَمَا وَتَلَّهُ لِلْجَبِيْنَ. وَنَادَيْنَهُ َأن يَاِ بْرَاهِيْمُ. قَدْ صَدقْتَ الرُّءْيَا إِنَّا كذلِكَ نَجْزِىْ المحْسِنِيْنَ. إِنَّ هذا َلهُوَ البَلائ المُبِيْنُ. وَفدَيْنَهُ بِذِبْحٍ عَظِيْمٍ (الصفات :١٠٧١٠٣)
Artinya: “Tatkala keduanya telah berserah diri dan Ibrahim membaringkan anaknya atas pelipis (nya), (nyatalah kesabaran keduanya), dan Kami panggil dia “hai Ibrahim, sesungguhnya kamu telah
membenarkan mimpi itu, sesunggguhnya Kami memberi balasan kepada orang-orang yang berbuat baik. Sesungguhnya ini benar-benar suatu ujian yang nyata. Dan kami tebus anak itu dengan

seekor sembelihan yang besar” . (QS. Ash Shafaat :103-107)

Tatkala Ismail sedang dibaringkan, malaikat Jibril datang kepada Ibrahim dengan membawa seekor kibas (domba) seraya berkata : ”Sembelihlah ini sebagai ganti dari anakmu”, lalu jadilah yang demikian itu sebagai sunnah, dan kita menyembelih kurban untuk mengenang peristiwa itu. Setelah datang Nabi Muhammad SAW maka menyembelih hewan atau berkurban itu disyari’atkan pula kepada umatnya yang dilakukan pada hari raya Idul Adha dan hari –hari Tasyriq.

Syarat-syarat Qurban

1. Macam-macam haiwan qurban.

Ulama sepakat bahwa sesungguhnya hewan kurban itu tidak sah kecuali dari hewan ternak, yaitu : unta, sapi (termasuk kerbau), kambing (termasuk biri-biri) dan segala macamnya, baik jantan atau betina. Kurban tidak boleh dengan selain binatang ternak (bahimatul an’am) seperti sapi liar, kijang dan sebagainya.20 Berdasarkan firman Allah SWT. :
وَلِكُلِّ أُمَّةٍ جَعَلنَا مَنْسَكا لِيَذْكرُوا اسْمَ اللهِ عَلىَ مَارَزَقهُمْ مِنْ بَهِيْمَة الأَنْعَامِ ( الحج : ٣٤)

Artinya : “Dan bagi tiap-tiap umat telah kami syari’atkan penyembilihan (kurban) supaya mereka menyebut nama Allah terhadap binatang ternak yang telah dirizkikan Allah kepada mereka“. (QS. Al-Hajj : 34)

Arti lafadz “bahimatul an’am” pada ayat tersebut adalah unta, sapi dan kambing.
Nabi dan para sahabatnya tidak pernah melakukan kurban, dengan selain hewan ternak, karena kurban adalah ibadah yang berhubungan dengan hewan, maka ini ditentukan dengan hewan ternak. Ulama sepakat
bahwa yang bisa dijadikan kurban ialah hewan ternak yang temasuk kelompok bahimatul an’am, yaitu : unta, sapi dan kambing. Namum mereka berbeda pendapat mengenai hewan mana yang lebih utama. Ulama-ulama Malikiyah berpendapat, yang lebih utama adalah kambing, kemudian sapi, kemudian unta, karena dipandang dari segi bagusnya daging, karena Nabi SAW., berkurban dengan dua kambing kibas, dan Nabi tidak melakukan kecuali yang lebih utama dahulu.
Sedangkan ulama Syafi’iyah dan Hanabilah berpendapat sebaliknya. Menurut mereka hewan kurban yang lebih utama adalah unta, kemudian sapi, kemudian biri-biri , kemudian kambing kacang. Karena dipandang
dari segi banyaknya daging dan untuk maksud memberi kelapangan bagi orang-orang fakir.23 Menurut Hanafi yang lebih utama ialah, yang lebih banyak dagingnya tanpa membedakan binatang mana yang lebih utama, namun apabila kedua hewan tersebut, sama banyak dagingnya, maka yang lebih utama adalah yang lebih bagus dagingnya.

2. Sifat haiwan yang diqurbankan

Binatang yang dijadikan kurban itu hendaklah binatang yang sehat, bagus, bersih dan enak dipandang mata, mempunyai anggota tubuh yang lengkap, tidak ada cacat, seperti : pincang, rusak kulit dan sebagainya,
sebagaimana yang diterangkan dalam hadits :
عَنْ بَرَاءِ بْنِ عَازِبْ قال: قَال رَسُول اللهِ صَلى عَليْهِ وَسَلَّمْ َأرْبَعٌ لاتجزئ فِى الأضَاحِي العَوْرَاءُ البَيِّن عَوْرُهَا وَاَلمرِيْضَةُ ْالبَيِّن مَرِيْضُهَا وَالعَرْجَاءُ البين طْلعُهَا وَالكسِيْرَةُ الَّتِى َلاتُنْقِى (رواه ابو داود وابن ماجه)
Artinya : “Dari Bara’ Ibn. ‘Azib berkata: Rasulullah SAW, bersabda: Empat macam binatang yang tidak boleh dijadikan binatang kurban, yaitu yang buta lagi jelas kebutaannya, yang sakit lagi jelas sakitnya, yang pincang lagi jelas kepicangannya dan binatang yang kurus kering dan tidak bersih” . (HR. Abu Dawud dan Ibn Majah)
Syarat hewan kurban ialah harus selamat dari cacat, yang dapat mengurangi dagingnya, maka tidak boleh berkurban dengan hewan yang kurus, majnun (stress) dan yang terpotong sebagian kupingnya, yang pincang,
yang buta, yang sakit dan yang mempunyai penyakit kulit yang jelas, dan hewan yang tidak mempunyai tanduk, dan juga hewan yang sobek dan berlubang daun telinganya. Hewan kurban ialah hewan yang dipersembahkan kepada Allah SWT.
Sebagai wujud ketakwaan dalam rangka mendekatkan diri kepada Allah SWT, maka hewan yang disembelih hendaklah hewan yang benar-benar sehat, bagus, tidak cacat, dan enak dipandang mata. Dalam hadits diterangkan bahwa Rasulullah SAW berkurban dengan dua ekor kambing yang bagus dan enak dipandang mata :
عَنْ َأنَسٍ قال : ضُحَى النَّبِىُّ صلى الله عليه وسلم بِكبْشَيْنِ َأقْرَنَيْنِ َذبَحَهُمَا بِيَدِهِ وَسَمَّى وَ كبَّرَ (رواه البخاري ومسلم)
Artinya : ”Dari Anas berkata : “Bahwasannya Nabi SAW telah berkurban dengan dua ekor kibas yang enak dipandang mata lagi mempunyai tanduk. Beliau menyembelih sendiri dengan membaca basmalah dan mengucapkan takbir” (HR. al-Bukhari dan Muslim).
Hadits tersebut menerangkan bahwa Nabi berkurban dengan dua ekor kambing kibas yang bagus dan enak dipandang mata. Hewan kurban adalah sembelihan yang dikurbankan untuk Allah SWT, maka sebaiknya memilih hewan yang gemuk dan bagus. Sebaiknya seorang muslim memberikan sesuatu yang lebih utama kepada Allah SWT, jangan sebaliknya memberikan sesuatu kepada Allah SWT yang dia sendiri tidak menyukainya.

3. Umur haiwan qurban

Para ulama sepakat, bahwa kambing atau domba yang akan dijadikan hewan kurban adalah yang telah tanggal dan berganti gigi surinya atau yang lebih tua dari itu, berdasarkan hadits :
عَنْ جَابِرٍ قال: قال رَسُوْلُ اللهِ صلى الله عليه وسلم: َلاتَذبَحُوْا إِلَّامُسِنَّة اِلَّا َأن يَّعْسُرَ عَليْكمْ فَتَذْبَحُوْا جَذعَة مِنَ الضَّأْنِ (رواه الجماعة الا البخاري)
Artinya: “Dari Jabir berkata: bersabda Rasulullah SAW janganlah kamu menyembelih untuk kurban melainkan yang “musinah” (berumur dua tahun), jika kamu sukar memeperolehnya maka sembelihlah hewan yang berumur satu tahun”. ( HR. Jama’ah selain Bukhari)
Yang dimaksud dengan musinah ialah : kalau kambing ialah yang telah sempurna berumur dua tahun dan telah masuk tahun ke tiga. Dan musinah dari unta ialah yang telah sempurna berumur lima tahun dan sudah masuk tahun ke enam. Dan musinah dari sapi ialah sapi yang telah sempurna berumur dua tahun dan sudah masuk tahun ke tiga.30 Dan kambing yang telah tanggal giginya (jadzah) ialah kambing yang telah sempurna berumur satu tahun dan sudah memasuki tahun ke dua dan juga boleh dengan kambing yang giginya
tanggal sebelum sempurna umurnya satu tahun.
Rasullullah pernah membolehkan kaum muslimin berkurban dengan anak kambing, sebagaimana diterangkan dalam hadits :
عَنْ عُقْبَة بْنِ عَاِمٍر الجُهَنِىَّ قال: َقسَمَ رَسُوْلُ اللهِ صلى الله عليه وسلم فِيْنَا ضَحَايَا فَأصَابَنِى جَذعٌ َفقُلْتُ: يَارَسُوْل اللهِ إِنَهُ أصَابَنِى جَذعٌ فَقَال ضَحَّ بِهِ (رواه البخارى ومسلم )
Artinya : ”Dari Uqbah ibn Amir al-Juhani berkata : Rasulullah SAW membagi kepada kami hewan kurban, maka saya memperoleh anak kambing, saya berkata, Ya Rasulullah saya hanya memperoleh anak kambing, Rasulullah menjawab, berkurbanlah dengan anak kambing itu“. (HR. Bukhari Muslim)
Sebenarnya berkurban dengan anak kambing di bawah umur satu tahun atau anak sapi di bawah umur dua tahun atau anak unta di bawah umur lima tahun tidak mencukupi, tetapi dibolehkan jika terpaksa karena sukar mendapatkan musinah.

4. Waktu Penyembelihan Haiwan Qurban

Penyembelihan hewan kurban dilakukan pada hari-hari raya Idul Adha (10 Dzulhijjah) dan hari Tasyriq, yaitu 11,12, dan 13 Dzulhijjah, berdasarkan firman Allah SWT :
لِيَشْهدُوْا مَنَافِعَ َلهُمْ وَيَذْكُرُوا اسْمَ اللهِ فِي أيَّامٍ مَعْلوْمَاتٍ عَلى مَارَزَقهُمْ مِنْ بَهِيْمَةِ الأنْعَامِ َفكُلوْا مِنْهَا وَأطْعِمُواْ البَائِسَ ْالَفقِيْرَ (الحج : ٢٨)

Artinya : “Supaya mareka mempersaksikan berbagai manfaat bagi mereka dan supaya mereka menyebut nama Allah pada hari yang telah ditentukan. Atas rezeki yang Allah telah berikan kepada mereka berupa binatang ternak maka makanlah sebagian daripadanya (dan sebagian lagi) berikan untuk dimakan orang-orang yang sengsara lagi fakir” . (QS. Al-Hajj. 28)

Yang dimaksud dengan hari-hari yang ditentukan (ayyam maklumat) pada ayat diatas ialah hari raya Idul Adha dan hari Tasyriq.34 Yaitu tanggal 11, 12 dan 13 Dzulhijjah. Hal ini dijelaskan lagi oleh hadits Nabi.
عَنْ جَبِيْرِ بْنِ مَطعَمْ قَال النبي صلى الله عليه وسلم  كلّ أيَّامِ التَّشْرِيْقِ ذَبْحٌ (رواه احمد)
Artinya : “Dari Jubair bin Muth’im berkata. Bersabda Nabi SAW seluruh hari Tasyriq merupakan waktu penyembelihan”. (HR. Ahmad)
Disyaratkan hewan kurban untuk tidak disembelih kecuali setelah terbitnya matahari dihari raya Idul Adha, dan kira-kira telah dilaksanakan shalat Idul Adha dan sah disembelih tiga hari setelah itu baik siang atau
malam kecuali setelah habisnya hari tersebut. Dalam hadits diterangkan :
عَنْ َأنَسِ ابْنِ مَالِكِ قال: قال النبي صلى الله عليه وسلم: مَنْ َذبَحَ َقبْل الصَّلَاة فإِنَّمَاَ ذبح لِنَفْسِهِ وَمَنْ َذبَحَ بَعْدَ الصَّلَاةِ َفَقدْ تَمَّ نُسكهُ وَأصَابَ سُنَّةْ المُسْلِمِيْنَ (متفق عليه)
Artinya : “Dari Annas bin Malik : Nabi SAW bersabda “Barang siapa yang menyembelih (hewan kurban) sebelum sholat Idul Adha, maka sesungguhnya ia menyembelih untuk dirinya sendiri dan barang
siapa yang menyembelih sesudah shalat Idul Adha, maka sesungguhnya sempurnalah ibadahnya dan mengikuti sunnah kaum muslim”. (Mutafaq ‘allaih)
Dalam hadits lain diterangkan :
عَنْ جُنْدَ بْنِ سُفْيَانِ ْالبَجَلِي قال: شَهدْتُ النَّبي صلى الله عليه وسلم يَوْمَ النَّحْرِ فقال: مَنْ َذبَحَ َقبْل َأن يُصَلِّىَ فلْيُعِدْ مَكَان أخَرَ وَمَنْ َلمْ يَذبَحْ فلْيَذْبَح (رواه البخاري)
Artinya : ”Dari Jundab bin Sufyan al-Bajali, dia berkata “Aku menyaksikan Nabi SAW, pada hari kurban. Beliau bersabda “ Barang siapa yang menyembelih kurban sebelum dia melakukan sembahyang Idul Adha, maka ia hendaknya mengulang. Dan barang siapa yang belum nemyembelih hendaklah dia lakukan“. (HR. Bukhori)
Hadits tersebut menerangkan bahwa orang yang belum menyembelih hewan kurban sebelum dilaksanakan shalat Idul Adha, maka ibadah kurbannya tidak sah, dan apabila ingin sah kurbannya maka hendaknya ia
mengulang lagi.

5. Jumlah Haiwan Qurban Untuk Satu Orang

Para ulama ahli fiqih sepakat bahwa seekor biri-biri atau kambing hanya untuk berkurban satu orang, dan seekor unta atau sapi boleh untuk berkurban tujuh orang. Berdasarkan keterangan hadits :
عَنْ جَابِرِ بْنِ عَبْد اللهِ أنَّهُ قال: نَحَرْنَا مَعَ رَسُوْلِ اللهِ صلى الله عليه وسلم بِالْحُدَيْبِيَةِ الْبَدَنَة عَنْ سَبْعَةٍ وَالبَقرَة عَنْ سَبْعَةٍ (رواه مسلم والترمذي وأبوداود)

Artinya : “Dari Jabir ibn Abdullah berkata : pada tahun perjanjian Hudaibiyah kami menyembelih kurban bersama Nabi SAW unta untuk tujuh orang dan sap juga untuk tujuh orang“. ( HR. Muslim, at-Tirmidzi dan Abu Dawud)

Jika penyembelihan kurban tidak menurut ketentuan-ketentuan diatas, seperti seekor kambing untuk lima orang, delapan orang, maka penyembelihan itu tidak termasuk penyembelihan ibadah kurban tetapi menurut penulis hanyalah termasuk sedekah saja, karena tidak memenuhi syarat-syarat yang ditentukan dalam ibadah kurban.

6. Hukum Daging Qurban

Hukum orang berkurban boleh memakan daging kurbannya dan menyedekahkannya. Hal ini sesuai dengan firman Allah :
فَإِذَا وَجَبَتْ جُنُوْ بِهَا فَكُلوْا مِنْهَا وَأطْعِمُواْ القَانِعَ وَالمعْتَرَّ (الحج : ٣٦)

Artinya: “Kemudian apabila telah roboh (mati), maka makanlah sebagiannya dan beri makanlah orang-orang yang rela dengan apa yang ada padanya (yang tidak meminta-minta) dan orang yang meminta”. (QS. Al-Hajj.36)

Yang lebih utama pembagian daging kurban ialah sepertiga untuk dimakan, yang kurban, sepertiga untuk disedekahkan, dan sepertiganya untuk disimpan. Berdasarkan hadits Nabi SAW :
عَنْ عَائِشَة رَضِي الله عَنْهَا قالت دَفَّ النَّاس مِنْ َأهْلِ ْالبَادِيَة حَضْرَةُ ْالأَضْحَى فِي زَمَاِن رَسُوْلِ اللهِ صلى الله عليه وسلم فقال رسول الله صلى الله عليه وسلم َادْخِرُوا ا لثُلث وَتَصَدَّقوْا بِمَا بَقِي (رواه ابو داود)

Artinya : ”Dari Aisyah Ra berkat : pernah manusia penduduk desa berduyunduyun untuk menghadiri kurban di masa Rasulullah SAW. Maka bersabda Rasulullah SAW “simpanlah sepertiga daging itu, dan sedekahkahnlah yang lainnya” (HR. Abu Daud).

Menurut Dr. Yusuf Qardhawi pembagian daging kurban yang lebih utama ialah menjadi tiga bagian, yakni : sepertiga untuk dimakan oleh yang berkurban beserta keluarganya, sepertiga untuk tetangga sekitarnya (lebih-lebih jika mereka tergolong orang-orang yang berekonomi lemah atau tidak mampu berkurban), dan sepertiga untuk fakir miskin. Seandainya yang bersangkutan (pengurban) menyedekahkan seluruh daging kurbannya, tentu hal itu lebih utama dan lebih baik lagi, dengan syarat ia harus mengambil berkah, seperti makan hatinya atau lainnya. Hal itu sebagai bukti bahwa ia telah memakan sebagian dari dagingnya, sebagaimana yang dilakukan oleh Nabi SAW, dan para sahabatnya.
Dalam hadits diterangkan bahwa Rasulullah SAW, pernah melarang pengurban menyimpan daging kurban beberapa hari, sebab terbukti bahwa pada waktu itu banyak orang yang patut ditolong, layak diberi daging kurban, yakni mereka yang termasuk dalam golongan fakir dan miskin. Pada waktu itu Rasulullah SAW, menyuruh mereka agar berkurban untuk mengutamakan menyedekahkan kurbannya, dan mereka yang berkurban hanya diberi izin mengambil daging kurbannya kira-kira cukup untuk keperluan tiga hari saja.
Kemudian pada tahun yang lalu itu masih tetap berlaku atau tidak, Rasulullah SAW pun menerangkan bahwa peraturan tersebut ditetapkan karena pada tahun berikutnya keadaan telah pulih kembali, tidak banyak yang memerlukan bantuan. Oleh karena itu Rasulullah SAW memberikan izin untuk turut memakannya.
Seperti diterangkan dalam hadits :
عَنْ سَلمَة بنِ الأَكْوَعِ قال: قال رسول الله صلى الله عليه وسلم: مَنْ ضَحَّى مِنْكمْ َفلا يُصْبِحَنَّ بَعْدَ ثالَثةِ وَفِيْ بَيْتِهِ مِنْهُ شَيْ ٌ َفَلمَّاكَان العَامُ المُقْبِلُ قاُلوْا : يَارَسُوْل اللهِ نَفْعَلُ كمَا فَعَلْنَا العَامَ الْمَاض قال: كُلوْا وَأطعِمُوْا وَأدَّخِرُوْا َفأِنَّ َذلِكَ ْالعَامَ كَان بِالنَّاسِ جَهْدٌ فَأرَدْتُ أن تُعِيْنُوْا فِيْهَا (متفق عليه)

Artinya : ”Dari Salamah Ibn al-Akwa’ berkata : Nabi SAW bersabda barang siapa diantara kamu sekalian berkurban maka janganlah. Menyimpan sesuatu pun (dari daging kurban) setelah tiga hari. Kemudian pada tahun berikutnya para sahabat bertanya : Wahai Rasulullah apakah kami melakukan seperti tahun lalu? Rasulullah bersabda ”makanlah (dari kurban mu), dan berilah orang-orang, dan simpanlah, sesungguhnya pada tahun yang lalu itu orang-orang mendapat kesusahan, maka aku ingin kamu menolong mereka”. (Muttafaq ‘Alah)

Orang yang berkurban tidak boleh mengambil sebagian dari kurbannya untuk dijual maupun dijadikan upah jagal atau si penyembelih. Bila si penjagal ingin ikut menikmati daging kurban, kita dapat memberinya melalui
undangan makan yang sajiannya daging kurban. Jika dia fakir miskin, dia berhak diberi daging kurban agar dia dan keluarganya turut bergembira. Yang membantu menyembelih kurban dan yang turut mengerjakannya tidak boleh diberi upah dari kurban. Kalau mau memberi upah, hendaklah dari yang berkurban.
Seperti diterangkan dalam hadits :
عن علي قال : أمَرَنِي رسو ل الله صلى الله عليه وسلم أن َأقُوْمَ عَلى بدْنِهِ وَأنْ َأتَصَدَّقَ بِلَحْمِهَا وَجُلُوْدِهَا وَاجِلَتِهَا وَأنْ لَاأُعْطِي الْجَزَّارَ مِنْهَا قَال: “نَحْنُ نُعْطِيْهِ مِنْ عِنْدِنَا ” (متفق عليه)

Artinya : ”Dari sahabat Ali RA. Berkata : Rasulullah SAW menyuruhku untuk menangani unta kurban dan membagikan kulit dan penutup tubuhnya (kain yang dipakaikan pada hewan kurban), serta melarangku memberikan kepada si penjagal sesuatu dari padanya. Beliau berkata “kita memberi dia upah dari kita sendiri”. (HR. Muttafaq ’alaih)

Bila yang mengerjakan orang miskin, maka ia diberi daging kurban, bukan karena ia bekerja, melainkan karena kemiskinannya. Yang berkurban, selain berkurban juga mesti memberi ongkos-ongkos yang diperlukan untuk menyelesaikannya serta mengurusnya. (Baca juga: Pengertian Qurban Secara Lengkap dengan Penjelasannya)
Sumber/Source : http://amalqurban.com/tinjauan-umum-tentang-kurban-dalam-islam/

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *